Gangguan Tidur Yang Sering Ditemukan Pada Praktek Klinis Sehari-hari


Pendahuluan

Diperkirakan sekitar 40 juta orang Amerika menderita gangguan tidur yang kronis. Hal ini sangat mempengaruhi  pekerjaan, aktifitas sosial dan status kesehatan penderitanya.1,2 Bahkan bukti-bukti menunjukkan ada korelasi yang bermakna antara kurang tidur dan kecelakaan lalu lintas.3 Gangguan tidur juga menyebabkan 38.000 kematian kardiovaskular dan memerlukan biaya lebih dari 16 milyar dolar Amerika setiap tahun untuk mengatasinya. Sedangkan Biaya tak langsungnya seperti kecelakaan, barang atau alat yang rusak, rawat inap di rumah sakit sampai kematian dapat mencapai 100 milyar dolar Amerika. 2  Sayangnya banyak dokter yang masih berasumsi bahwa kebanyakan dari keluhan tidur ini adalah tidak serius walaupun tetap meresepkan obat-obat hipnotik-sedatif.

Adapun gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan pasien-pasien di Amerika adalah insomnia, apnoe tidur obstruktif, restless legs syndrome & nocturnal myoclonus serta narkolepsi.2 Untuk Indonesia, data belum didapatkan dan oleh karena itu pembahasan pada tulisan ini membatasi diri pada keempat gangguan yang paling sering dikeluhkan tersebut. 

 

Tidur Normal

Kebutuhan fisiologis tidur pada setiap orang dewasa adalah tidak sama. Terdapat 2 kelompok orang dewasa yang  dipisahkan berdasarkan lama tidurnya. Adayang hanya membutuhkan tidur kurang dari 6 jam dan kelompok ini disebut kelompok tidur singkat (short sleeper), sedangkan kelompok lain adalah kelompok yang memerlukan tidur lebih dari 8 jam dan disebut kelompok tidur panjang (long sleeper). Pada umumnya orang dewasa tidur 7-8 jam sehari. Jadi 1/3 dari waktu hidup manusia digunakan untuk tidur. 4,5,6,7,8

Kualitas tidur adalah lebih penting daripada kuantitas tidur. Jadi pernyataan umum yang menyatakan bahwa ‘long sleeper’ lebih baik daripada ‘short sleeper’ adalah tidak benar.

Dilihat dari usia individu, kebutuhan tidur ini juga berbeda-beda sesuai usia. Seorang bayi normal membutuhkan tidur selama 18-20 jam sehari dan dengan semakin meningkatnya usia maka kebutuhan tidur anak-anak akan berkurang sedikit demi sedikit. Kelak pada waktu mencapai usia tua, kebutuhan tidur akan lebih berkurang lagi yakni hanya sekitar 4-6 jam seharinya.4,5,6,7,9

Dalam rentang normal, kondisi emosional seseorang akan sangat mempengaruhi kebutuhan tidurnya. Dalam keadaan senang, kebutuhan tidur orang akan berkurang tetapi situasi kehidupannya stabil, demikian pula sebaliknya.7

            Proses tidur normal terdiri dari 2 fase tidur yang biasanya disebut NREM (non rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement). Fase NREM terdiri dari stadium 1-4. Pada fase ini semua fungsi fisiologis tubuh menurun dibandingkan dengan waktu bangun. Pada fase ini denyut nadi berkurang 5-10 denyut per menit. Respirasi dan tekanan darah juga cenderung menurun, demikian juga aliran darah ke jaringan dan otak sedikit berkurang. Kedalaman tidur NREM yang terdalam (stadium 3-4) umumnya terjadi pada tengah malam. Bila individu dibangunkan pada fase tidur dalam ini maka akan terjadi disorientasi dan disorganisasi proses pikir. Kadang-kadang mimpi terjadi pada fase NREM dalam dan bersifat jelas serta bertujuan. Stadium 3-4 ini disebut juga stadium SWS (slow wave sleep), tidur gelombang lambat.4,5,6,7,9 Bila seseorang kurang cukup mengalami fase tidur dalam (SWS) maka keesokan harinya akan cenderung hipoaktif, kurang gesit dan cepat lelah.6   

            Mimpi terutama terjadi pada tidur REM. Fase tidur REM meliputi 15-25% dari siklus tidur dan biasanya terjadi lebih sering pada dini hari menjelang pagi. Fase tidur REM ini juga berpengaruh terhadap denyut jantung, respirasi dan tekanan darah. Dibandingkan fase tidur NREM, ketiga hal tersebut terdeteksi meninggi. Gelombang otak mirip dengan keadaan terjaga, terjadi ereksi penis dan paralysis otot-otot besar. Oleh karena itu disebut juga fase ini sebagai fase tidur paradoksikal.4,5,6,7,9 Apabila seseorang kurang cukup mengalami fase REM maka keesokan harinya akan cenderung menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosi, meningkatnya nafsu makan dan birahi.6

         

 

 

Fungsi Tidur 4,9

            Kebanyakan orang beranggapan bahwa tidur adalah obat penawar lelah. Mengapa orang lelah tidak hanya berdiam diri, melemaskan otot-ototnya sambil berelaksasi tanpa melakukan aktivitas apapun selama 7-8 jam dan tetap terjaga? Tentu saja hal tersebut tidak dapat membayar rasa lelah yang dirasakan. Oleh karena itu, mengapa harus tidur dan ketika bangun terasa segar kembali?

            Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang fungsi utama tidur. Teori-teori ini tidak saling bertentangan tetapi ada ilmuwan-ilmuwan yang lebih condong pada salah satu teori tersebut. Oleh karena itu kita perlu melihat  dan mempertimbangkan teori-teori yang terpisah ini. Diantara beberapa teori tersebut, ada 3 teori yang paling sering dikemukakan para peneliti fungsi tidur.

            Teori pertama adalah fungsi tidur sebagai alat untuk memperbaiki dan merestorasi tubuh manusia, terutama otak setelah dipakai sepanjang hari. Pada saat tidur, otak membentuk protein-protein baru untuk memperbaiki sel-sel dan membentuk cadangan energi baru. Penelitian yang membuktikan fungsi restorasi tidur adalah deprivasi tidur. Orang-orang yang kekurangan tidur akan mengalami rasa pusing, terganggu konsentrasinya, iritabel, tremor tangan dan halusinasi. Deprivasi tidur sementara akan meningkatkan respon imunitas tubuh tetapi deprivasi berkepanjangan akan menghancurkan sistem imun manusia.

            Teori kedua adalah teori evolusi. Menurut teori ini, fungsi utama dari tidur adalah menyimpan energi. Dianalogikan dengan perilaku hibernasi pada beberapa binatang mamalia yang bertujuan untuk menyimpan dan membentuk energi ketika musim dingin tiba. Pada saat hibernasi akan terjadi penurunan suhu tubuh, detak jantung dan tekanan darah, frekuensi nafas,serta metabolisme tubuh. Manusia sebagai mamalia juga terpaksa memerlukan tidur untuk menyimpan dan membentuk energi  baru ketika fungsi-fungsi tubuh secara relatif tidak efisien lagi melakukan pekerjaan.

            Teori yang ketiga adalah teori hipnotoksin. Teori ini mengemukakan bahwa waktu kita terjaga, hipnotoksin menumpuk di badan kita dan hanya dapat didetoksifikasi waktu kita tidur. Ketika terjaga, hipnotoksin ini memacu keadaan mengantuk. Dari suatu penelitian didapatkan bahwa serum dari anjing yang dideprivasi tidurnya, bila diberikan kepada anjing yang siaga, menyebabkan anjing yang siaga ini jatuh tertidur.

 

 

Insomnia2,3,5,8,9

                Insomnia adalah sindrom kesulitan tidur, baik kesulitan untuk memulai tidur dan atau mempertahankan tidur. Merupakan keluhan yang paling banyak dikemukakan pasien dan prevalensinya per tahun  dapat mencapai 30-45% pada populasi orang dewasa. Selain insomnia primer, insomnia juga dibedakan menjadi :

-          Insomnia sekunder karena kondisi medis

Dapat disebabkan karena rasa sakit yang kronis, lesi di susunan saraf pusat, sindroma apnoe tidur, restless legs syndrome & nocturnal myoclonus, faktor makanan (diet kafein), parasomnia, penggunaan alkohol, penyalahgunaan zat, penyakit endokrin dan metabolik, penyakit infeksi,  neoplasma, penyakit gastroesofageal-refluks dan proses penuaan (aktifitas fisik yang kurang di siang hari).

-          Insomnia sekunder karena gangguan psikiatrik atau keadaan lingkungan.

Bisa disebabkan karena ansietas, depresi, skizofrenia, posttraumatic stress disorder, gangguan irama sirkadian, faktor perilaku (higienis tidur) dan perubahan lingkungan (bising dan terlalu terang).

Butir-butir diagnostik sindrom insomnia:

-          Membutuhkan waktu lebih dari ½ jam untuk tertidur atau tidur kembali setelah terbangun sehingga siklus tidur tidak utuh dan menimbulkan keluhan gangguan kesehatan.

-          Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala : penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Sindrom insomnia dapat dibagi dalam 3 tipe :

  1. Transient insomnia : berlangsung 2-3 hari
  2. Shortterm insomnia : berlangsung sampai dengan 3 minggu
  3. Longterm insomnia : berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama dan biasanya disebabkan oleh kondisi medik atau psikiatrik tertentu.

Penatalaksanaan insomnia harus kembali pada penanganan penyakit yang mendasarinya lebih dahulu. Selain penyakit yang mendasarinya, perlu juga diperhatikan faktor lingkungan, jadwal tidur-bangun (berkaitan dengan irama sirkadian), perilaku yang berhubungan dengan higienis tidur sampai pemberian psikofarmakoterapi.

Farmakoterapi pada insomnia adalah penting dan dapat memberikan 3 aksi yaitu: memfasilitasi mulainya tidur, mempertahankan tidur dan atau mengakibatkan sedasi di siang hari berikutnya. Terapi dengan obat hipnotik adalah efektif untuk mengatasi transient insomnia dan insomnia kronis bila diberikan sebagai terapi pelengkap.

Pemilihan obat ditinjau dari sifat gangguan tidur:

-          Initial insomnia à sulit memulai tidur, golongan benzodiazepin short acting (triazolam, midazolam)

-          Delayed insomnia à proses tidur cepat berakhir (tidak mampu mempertahankan tidur), golongan antidepresan (trisiklik, tetrasiklik, trazodone, mirtazapine)

-          Broken insomnia à proses tidur terpecah-pecah, golongan fenobarbital atau benzodiazepine long acting (diazepam, nitrazepam)

            Terapi jenis lain/ alternatif yang perlu mendapatkan perhatian adalah: penggunaan herbal (valerian radix), aromaterapi (lavender), homeopathy (pemberian zat penyebab dalam bentuk sangat encer misalnya kopi/kafein), terapi relaksasi dan pemijatan (shiatsu, refleksologi)

           

Restless Legs Syndrome (RLS) dan Nocturnal Myoclonus (NM)

            Sebenarnya  RLS adalah salah satu penyebab insomnia yang membuat gejala tak dapat mempertahankan tidur. SedangkanNMsering juga disebut sebagai periodic limb movements in sleep (PLMS). Sebagian dari penderita PLMS menderita RLS, namun 80% penderita RLS juga menderita PLMS. Oleh karena itu gangguan ini dijadikan satu pembahasan khusus. 1,2,3,5,9

            RLS dan NM ditandai dengan adanya fleksi cepat dan stereotipik dari otot-otot tungkai, kaki dan kadang pinggul yang berhubungan dengan kondisi terjaga berulang sepanjang malam. Gerak yang paling khas dari NM/PLMS adalah ekstensi ibu jari kaki dan atau dorsofleksi parsial atau komplet kaki pada pergelangan kaki. Biasanya pasien tidak ingat adanya gerak tungkai, walau mengeluh nyeri otot pada keesokan paginya. Keluhan yang juga sering dikemukakan oleh penderita PLMS adalah mengantuk di siang hari yang disebabkan fragmentasi tidur.6,9

            Oleh karena seringkali pasien tidak ingat akan adanya gerak tungkai selama tidur maka diagnosis ditegakkan dengan perekaman EMG pada polisomnogram di otot anterior tibia yang mengalami kontraksi stereotipik selama 2 detik dan berulang secara ritmik dengan interval kira-kira 20-40 menit selama penderita tidur. Dapat juga diagnosis ditegakkan dengan pengamatan oleh rekan tidur pasien. 1,5,6,9

            RLS & PLMS diperkirakan terjadi sebanyak 5% dalam populasi umum.9 Sedangkan NM dapat mencapai 17 kasus dari setiap 100 kasus insomnia kronis di klinik Gangguan Tidur Stanford.1 Kondisi ini juga sering ditemukan pada sekitar 44-58% lansia yang mengalami gangguan tidur. Angka kejadian meningkat sesuai dengan peningkatan usia, jarang sekali terjadi pada anak dan tak ada predisposisi gender.6,9  

            Penyebab pasti dari gangguan RLS & PLMS ini tidak diketahui, ada dugaan keterlibatan sistem dopaminergik (abnormalitas reseptor D3) di jaras mesolimbik, dengan beberapa modulasi sistem opioid. Patofisiologinya juga dapat mencakup gangguan sistem vaskular atau sistem saraf perifer dan sentral.

Anemia besi adalah penyebab yang perlu disingkirkan pada RLS & PLMS karena sering menjadi penyebab yang mendasari penyakit. Besi merupakan kofaktor bagi enzim sintesis (hidroksilase tirosin) dan terlibat pada beberapa reseptor dopaminergik. Penyebab lain dapat mencakup penggunaan obat SSRI (penghambat reuptake serotonin), antidepresan trisiklik, gejala putus zat antikonvulsan, barbiturat atau hipnotik, neuropati perifer, penyakit Parkinson, gagal ginjal, arthritis rheumatoid dan gagal jantung kongestif. Minuman yang berkadar kafein tinggi juga sering menyebabkan PLMS & RLS.9

            Terapi utama adalah menyingkirkan penyakit dasar yang ada, penambahan suplemen besi dan pengurangan konsumsi kafein. Pemberian suplemen besi pada pasien yang tak nyata tanda-tanda defisiensi besi juga terbukti efektif.Adabeberapa tindakan yang juga diusulkan seperti mandi air hangat dan gerak badan/ peregangan sebelum tidur. Pada umumnya terapi farmakologis dilakukan dengan memberikan: obat-obat dopaminergik, benzodiazepine, opioid dan lainnya (antikonvulsan, antiadrenergik dan pelemas otot).

L-Dopa terbukti efektif menekan gerak ekstremitas periodik waktu tidur pada RLS dengan uremia. Bromokriptin (dopamine agonis) juga dapat digunakan 2,5 mg atau 5 mg, dimulai dengan dosis rendah. Obat lain yang terbukti efektif diantaranya adalah: Metadon dari golongan opiate (10-30 mg/ hari), klonazepam, lorazepam, triazolam dari golongan benzodiazepine, karbamazepin, gabapentin dari golongan antikonvulsan serta propranolol dan klonidin dari  golongan antiadrenergik. 9

 

Narkolepsi1,2,5,9

            Narkolepsi adalah salah satu manifestasi dari hipersomnia. Hipersomnia adalah manifestasi kebutuhan tidur yang eksesif, sering mengantuk di siang hari atau keduanya sekaligus.

            Narkolepsi adalah kebutuhan tidur yang eksesif di siang hari dan terdapat manifestasi abnormal dari fase REM yang muncul setiap hari selama paling tidak 3 bulan. Serangan tidur ini muncul 2-6 kali setiap hari dan berlangsung 10-20 menit setiap kalinya pada waktu yang tidak wajar (sewaktu makan, berdiskusi, menyetir mobil).

Manifestasi utama lain adalah ditemukannya katapleksi, hilangnya tonus otot dipicu oleh emosi, mengakibatkan immobilitas selama beberapa detik atau menit. Kadang juga ada halusinasi hipnagogik dan atau hipnopompik, baik visual maupun auditorik, serta dapat pula terjadi paralisis tidur yakni tak mampu bergerak pada waktu permulaan terjaga.

Prevalensinya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan gangguan tidur yang lain tetapi tidak sejarang yang dipikirkan para klinisi. Perkiraannya adalah 0.02-0.16% pada populasi dewasa dan beberapa diantaranya menunjukkan insidensi kekeluargaan.

Narkolepsi selain merupakan bentuk lain dari epilepsi juga gangguan psikogenik. Walaupun dapat ditemukan pada segala usia tetapi insidens kejadian terbanyak diawali pada masa remaja dan dewasa muda sebelum berusia 30 tahun. Perjalanan penyakitnya dapat perlahan meningkat atau mencapai fase plateau  yang berlangsung seumur hidup.

Pengobatan untuk menyembuhkan narkolepsi belum ditemukan, yang ada hanya penatalaksanaan gejala yaitu mengatasi serangan mengantuk dan mencegah katapleksi. Di Amerika telah disetujui penggunaan provigil, sebuah agonis reseptor adrenergik  alfa1 untuk mengatasi serangan mengantuk. Obat ini terbukti lebih aman daripada psikostimulansia tradisional seperti amfetamin dan derivatnya (dekstroamfetamin, metilfenidat dan fenfluramin). Sedangkan untuk mengatasi katapleksi dapat digunakan antidepresan trisiklik dan SSRI (penghambat reuptake serotonin).

 

Apnoe Tidur Obstruktif 1,2,3,5,6,9

    Apnoe tidur obstruktif juga salah satu penyebab kondisi medis yang menyebabkan insomnia (sering terbangun waktu tidur) maupun hipersomnia (mengantuk di siang hari). Karena kekhasan dan prevalensinya yang cukup banyak maka gangguan tidur yang disebabkan oleh apnoe tidur obstruktif ini dibahas tersendiri.

Prevalensinya meningkat sesuai peningkatan usia, obesitas dan perokok. Pada lansia pria dapat mencapai 27% dan 19% pada wanita (faktor gender, pria 2-5 kali > wanita).

Kelainan anatomis jalan nafas merupakan faktor terpenting dalam gangguan ini. Mendengkur merupakan gejala yang umum dan hal ini menunjukkan gangguan pernapasan selama tidur. Mendengkur disebabkan oleh uvula dan palatum mole bagaikan seruling di saluran pernapasan. Gangguan ini dapat terjadi pada fase NREM dan REM, mengakibatkan tidur menjadi dangkal dan berkomplikasi bagi neuropsikiatri dan kardiovaskular, termasuk hipersomnia di siang hari, gangguan kognisi, hipertensi sistemik dan pulmoner serta aritmia jantung. Faktor-faktor risiko lain adalah faktor genetik,  endokrin (hipotiroidisme dengan miksedema), stroke, penggunaan alkohol, hipnotik dan opioid.

Penatalaksanaan apnoe tidur obstruktif adalah pertama-tama mengatasi penyakit yang mendasarinya termasuk modifikasi perilaku (menghentikan konsumsi alkohol, hipnotik dan opioid, menghindari tidur terlentang dan mengurangi mendengkur), menurunkan berat badan, terapi farmakologi (dekongestan nasal, oksigen), alat bantu nafas menggunakan tekanan udara positif (CPAP= continuous positive airway pressure) sampai terapi bedah.

Terapi bedah untuk kelainan anatomis pada gangguan ini dapat dicoba beberapa teknik pembedahan, diantaranya uvulopalatopharyngoplasty setelah dilakukan penilaian yang komprehensif.

 

Kesimpulan

            Gangguan tidur adalah gangguan yang cukup sering dijumpai, kompleks, dan  meliputi banyak aspek medis maupun psikologis dari penderitanya. Gangguan ini  merupakan masalah serius dan penting yang masih sering luput dari fokus perhatian para klinikus saat ini.

            Insomnia, apnoe tidur obstruktif, narkolepsi, restless legs syndrome dan nocturnal myoclonus adalah bentuk gangguan tidur yang sering dikeluhkan pasien-pasien gangguan tidur di Amerika Serikat. Jenis gangguan tidur  yang spesifik banyak diderita oleh pasien diIndonesia belum ada datanya. Untuk itu, baik sekali bila dapat diadakan penelitian  tentang gangguan tidur diIndonesia yang melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran terutama psikiatri.

            Pendekatan multi disiplin kedokteran dalam mengatasi gangguan tidur mutlak diperlukan karena kompleksitas masalah dan banyaknya penyakit-penyakit medis- psikiatrik  yang mendasari gangguan tidur ini. 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Zarcone. V, Dement. W. Diagnosis and Treatment of Sleep Disorders in Psychiatry for the Primary Care Physician.Baltimore: The William & Wilkins Company. 1979; page 303-15
  2. Abad. VC, Guilleminault. C. Diagnosis and Treatment of Sleep Disorders: a brief review for clinicians in Dialogues in Clinical Neurosciences Vol. 5 No. 4. Paris: Les Laboratoires Servier. 2003; page 371-88
  3. Williams. A. Alih bahasa : Suharsono. Dok, Saya Nggak Bisa Tidur. Jakarta : Pustaka Delapratasa. 1999.
  4. Kalat. JW. Biological Psychology. 8th ed.North Carolina,USA:Wadsworth Thomson Learning. 2004; page 271-87
  5. Sadock. BJ, Sadock. VA. “Normal Sleep and Sleep Disorders” in Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 2003; page 756-81
  6. Surilena. Gangguan Tidur Pada Lansia dan Penangannya dalam Majalah Jiwa. Tahun XXXVII No.3. Jakarta: Yayasan Dharmawangsa. Juli 2004. Hal. 55-65
  7. Musadik. K. Fisiologi Tidur dalam Majalah Jiwa. Tahun XXV No.2. Jakarta: Yayasan Dharmawangsa. Juni 1992. Hal. 49-55
  8. Maslim. R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 3th ed.Jakarta : 2001. Hal. 42-46
  9. Lumbantobing. SM. Gangguan Tidur. Jakarta: Penerbit FKUI. 2004.

 

By: Dr. Dharmawan A. Purnama, SpKJ

Artikel Kesehatan