Pendahuluan
Banyak dari gejala dan keluhan fisik dapat ditimbulkan akibat stres mental yang menyerupai penyakit fisik yang kita kenal. Mampu membedakan antara gejala fisik dan gejala akibat stres atau cemas merupakan hal yang sangat penting untuk pengobatan yang tepat. Penelitian di bidang psikosomatik telah semakin maju sehingga dapat memberikan penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana pengaruh kekuatan pikiran terhadap tubuh fisik kita.
Apa itu psikosomatik?
Kedokteran psikosomatik adalah bagian dari bidang ilmu neuropsikiatri. Berasal dari kata psyche (psikis/jiwa; pikiran dan perasaan) dan somatic (tubuh; fisik), psikosomatik berarti bagaimana jiwa seseorang mempengaruhi fisiknya. Jika pikiran seseorang yakin dan percaya bahwa tubuhnya tidak sehat, gejala dapat muncul menyerupai gejala fisik yang sebenarnya.
Bagaimana studi tentang psikosomatik bermula?
Pada awal abad keduapuluh, Franz Alexander memulai teorinya tentang kedokteran psikosomatik. Ia mempelajari tentang dinamika dan interaksi antara pikiran dan tubuh. Belakangan Sigmund Freud, seorang neurolog yang merupakan pelopor dalam ilmu jiwa menjadi sangat tertarik dengan penyakit yang disebabkan oleh problem pada mental. Ada pula Georg Groddeck yang pada waktu yang bersamaan melakukan studi tentang pengobatan gangguan fisik dengan cara-cara psikologis. Sejak itu, banyak ilmuwan telah melakukan berbagai penelitian yang menjadi dasar berkembangnya ilmu kedokteran psikosomatik.
Apa gejala atau keluhan yang sering muncul?
Stres yang akut (mendadak dan hebat) atau kronis (menahun) keduanya dapat mencetuskan berbagai perubahan biokimia di dalam tubuh seseorang yang akan mempengaruhi hemodinamik tubuh seseorang, menghasilkan berbagai gejala dan keluhan fisik atau memperparah yang sudah ada. Gejala yang paling sering muncul antara lain: gangguan pencernaan (misalnya kembung, perih pada lambung, diare atau sembelit, dsb.), gangguan pernapasan (serangan asma, perasaan sesak, dsb.), gangguan kardiovaskular (misalnya berdebar-debar, gangguan irama jantung, tekanan darah tinggi, sakit kepala, dsb.), gangguan metabolik (peningkatan kadar gula darah), gangguan imunitas (reaksi alergi, rambut rontok, penurunan daya tahan tubuh, dsb.), gangguan pada organ seksual (penurunan kemampuan seksual, keputihan, nyeri menstruasi, siklus mestruasi tidak teratur, dsb.), gangguan pada saraf dan otot (sering kedutan, tics, kesemutan, nyeri punggung atau pinggang, spasmofilia, dsb.), bahkan gangguan dan penyakit yang mungkin sulit untuk dijelaskan secara medis kecuali menggunakan pendekatan psikosomatik. Gejala-gejala lain yang meskipun tidak sering tapi bisa muncul akibat stres mental antara lain kelumpuhan menyerupai stroke, kelemahan kronis (sindrom kelemahan kronis; chronic fatique syndrome), gangguan penglihatan, dan fibromyalgia (nyeri yang sangat mengganggu tapi tidak ditemukan sumber nyeri).
Bagaimana stres atau cemas bisa menyebabkan munculnya gejala ?
Lewat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak diketahui bahwa ada area di otak yang mengatur emosi dan mempengaruhi berbagai sistem tertentu di tubuh. Area yang mengatur emosi disebut “sistem limbik”. Pada area tersebut terdapat amygdala, organ yang berperan dalam mencetuskan sinyal rasa takut. Juga terdapat zat-zat kimia di otak yang berperan dalam komunikasi antar sel saraf yang disebut “neurotransmiter”.
- Amygdala: berperan dalam pembentukan memori yang bermakna secara negatif, dengan tujuan untuk melepaskan individu dari bahaya dan agar mencegah peristiwa tersebut tidak terulang lagi. Dengan demikian, organ ini berperan sebagai “alarm” tanda bahaya. Seseorang yang memiliki amygdala yang sensitif (hiperaktif) akan cenderung mengingat hal-hal buruk yang pernah terjadi dalam hidupnya dibanding hal-hal yang baik. Akibatnya individu tersebut akan menjadi waspada dan berusaha menghindarinya. Sensasi yang dirasakan berupa perasaan cemas dan takut, bahkan marah. Karena perasaan tersebut membuat individu merasa tidak nyaman, ia akan berusaha menghindari apa pun yang bisa mencetuskan “alarm” tsb.
- Serotonin: serotonin adalah salah satu zat kimia di otak (neurotransmiter) yang berperan dalam mengatur kondisi emosi seseorang agar tetap stabil. Jika individu mengalami stres secara terus-menerus, lambat laun produksi serotonin akan berkurang membuat individu lebih rentan terhadap stres. Jika serotonin seseorang sangat rendah, stres yang kecil pun akan dirasakan hebat dan akan mempengaruhi emosinya secara negatif. Amygdala akan menjadi lebih sensitif dan akan lebih mudah mencetuskan gejala-gejala somatik. Kadar serotonin yang rendah akan membuat individu menjadi lebih rentan jatuh ke dalam kondisi depresi.
- Sistem otonom: sistem otonom adalah sistem yang berjalan secara otomatis tanpa bisa dikendalikan secara langsung oleh pikiran sadar kita. Namun sistem ini dapat dipengaruhi secara tidak langsung oleh otak, terutama perasaan. Misalnya ketika seseorang sedang sedih, maka sistem pencernaannya akan terganggu dan mempengaruhi nafsu makannya. Jika individu sedang ketakutan, maka jantung akan berdetak lebih cepat dan terasa seperti berdebar-debar. Begitu pula jika seseorang sedang merasa cemas maka sistem pencernaan pun dipengaruhi. Lambung dan usus akan menurun pergerakannya dan asam lambung akan banyak dikeluarkan. Individu yang sedang berada dalam kondisi stres akan mengaktifkan amygdala yang akan mempengaruhi sistem otonom secara negatif yang dirasakan sebagai gejala-gejala fisik. Individu tersebut mungkin akan mengalami kembung, mual, perih ulu hati, jantung berdebar, dsb. Kondisi ini akan semakin berat jika kadar serotonin individu tersebut sangat rendah akibat kondisi stres yang terus menerus dialaminya.
Bagaimana penanganan gangguan psikosomatik?
Dokter yang berpengalaman akan mengetahui bahwa gejala yang dialami seseorang adalah gejala psikosomatik dan akan melakukan konsultasi dengan psikiater. Terapi yang dilakukan oleh psikiater meliputi psikoterapi (psikoedukasi, latihan relaksasi, terapi kognitif dan perilaku, imajeri, logoterapi, dsb.) dan farmakoterapi (pemberian obat). Manfaat pemberian obat bisa ditanyakan langsung ke dokter Anda.
Kombinasi penggunaan obat dan psikoterapi umumnya memberikan hasil yang lebih baik dibanding hanya salah satu metode saja. Meskipun demikian, ada kemungkinan seseorang hanya memerlukan psikoterapi saja. Yang perlu diingat adalah gejala psikosomatik sangat berkaitan erat dengan bagaimana individu menggunakan pikirannya secara sehat sehingga ia mampu mengendalikan perasaan cemasnya. Dengan demikian individu dapat hidup dengan lebih nyaman dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
Mari kenali dan obati gangguan psikosomatik Anda serta keluarga yang Anda sayangi agar Anda dan keluarga bisa menikmati kehidupan yang lebih produktif dan berkualitas.