Kehamilan merupakan masa transisi yang dinantikan oleh kebanyakan wanita. Menjadi ibu adalah naluri setiap wanita untuk menyayangi dan merawat anaknya. Kelahiran si bayi mungil pada umumnya menjadi pelengkap kebahagiaan di dalam keluarga. Namun, seperti tahap-tahap transisi lainnya, peristiwa ini pun tak lekang dari stress, sehingga pemaknaan yang muncul dapat berupa kebahagiaan ataupun kekecewaan. Seorang wanita dapat saja merasa cemas dan takut menghadapi peran barunya ini. Jika ia tidak dapat mengatasi emosi negatif tersebut dan sulit untuk menyesuaikan diri dengan peran barunya, risiko mengalami depresi pun semakin tinggi.
Depresi adalah gangguan suasana hati yang ditandai dengan adanya rasa sedih, kehampaan, mudah merasa marah atau terganggu, dan disertai dengan perubahan kondisi fisik (Contoh: rasa letih, mengantuk, berkurang atau bertambahnya nafsu makan, tidak bisa tidur) dan kognitif (Contoh: susah konsentrasi, pikiran yang dirasa tumpul), yang berdampak pada menurunnya kemampuan untuk menjalankan rutinitasnya sehari-hari. Depresi peripartum terjadi saat seorang wanita memasuki masa kehamilan ataupun menjelang kelahiran. Sedangkan, depresi postpartum terjadi setelah kelahiran si bayi—biasanya diawali dengan “baby blues syndrome” yang terjadi beberapa hari setelah kelahiran si bayi kemudian terus berlanjut sindroma ini sampai menjadi depresi.
Memasuki masa kehamilan, level hormon estrogen dan androgen meningkat drastis. Lalu, 24 jam setelah kelahiran, level hormon tersebut dengan cepat menurun kembali pada level normal. Perubahan hormonal yang drastis inilah yang dicurigai sebagai salah satu faktor risiko penyebab depresi saat kehamilan ataupun melahirkan. Selain itu, masih banyak faktor lain yang memicu depresi peri-postpartum. Mulai dari perubahan rutinitas dan gaya hidup, kelelahan karena merasa tidak memiliki waktu luang, ketakutan dan kecemasan mengenai kondisi si bayi, merasa penampilan diri tidak menarik lagi setelah memiliki anak, merasa kurangnya dukungan dari suami atau orang-orang terdekat, hingga rasa tidak mampu menjadi seorang ibu yang baik.
Keselamatan si bayi pun dapat terancam jika si ibu yang menderita depresi peripartum ataupun postpartum tidak mendapat pertolongan profesional. Ketika menderita depresi, pada umumnya si ibu tidak lagi tertarik untuk merawat kehamilan ataupun bayinya. Bila gejala depresi tidak teratasi setelah 2 minggu dan malah dirasa semakin berat, segeralah mencari bantuan profesional. Semakin lama depresi dibiarkan akan semakin membahayakan si ibu maupun bayinya. Pada kasus tertentu, depresi peripartum dan postpartum yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi gejala psikotik, yaitu adanya halusinasi yang menyuruhnya untuk menyakiti atau membunuh anaknya, atau adanya waham (kepercayaan) bahwa si anak adalah pembawa ancaman sehingga harus disingkirkan.
Tidak terbayangkan ketika sebuah kebahagiaan berubah menjadi tragis hanya karena masalah yang dianggap ”sepele” ini tidak tertangani. Jika Anda merasa Anda atau kerabat Anda ada yang mengalami depresi peripartum maupun postpartum, janganlah ragu untuk menghubungi kami sebagai tenaga profesional kesehatan jiwa untuk berkonsultasi sebelum gejala menjadi semakin memburuk. Anda dapat menghubungi 021-5609432 untuk membuat perjanjian.
Image Source : https://i.pinimg.com/originals/fe/27/2d/fe272d69b65d5a156fe2f5d29694f55a.jpg